Mahkamah Agung (MA) Batalkan Kenaikan Iuran BPJS

0 185

Karya Tulis Oleh  :Zetli Saputra Manalu

Ketua Bidang Seni, Budaya Dan Olahraga PC. IMM Sibolga Tapanuli Tengah

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan yang merupakan salah satu dari lima program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Dan baru-baru ini  Majelis Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS hingga 100 persen per 1 Januari 2020. Dalam putusannya, MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 itu dan Mahkamah Agung (MA) telah melansir putusan Nomor 7 P/HUM/2020 tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Dalam putusan itu, MA menguliti buruknya pengelolaan BPJS Kesehatan sehingga keuangan menjadi buruk. Masalah BPJS Kesehatan karena dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dilaksanakan Dewan Jaminan Sosial Nasional ada masalah. Kedua, penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS, yang terjadi dalam praktek selama ini terdapat suatu persoalan.

Yang mana Struktur hukum (legal structure), berupa belum adanya koordinasi yang baik (ego sektoral) antara satu kementerian dengan kementerian lainnya dalam mengurus penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial, dan Substansi hukum (legal substance), berupa: adanya overlapping aturan yang diterapkan dan ketidakkonsistenan antara satu instansi dengan instansi lainnya dalam proses penegakan hukum, Budaya hukum (legal culture), berupa masih banyaknya perilaku tercela dan tidak terpuji baik dari kalangan pengambil kebijakan, stakeholder  maupun masyarakat di bidang jaminan sosial.

Bahwa kondisi-kondisi di atas, selanjutnya telah menimbulkan dampak sistemik secara langsung kepada masyarakat, di antaranya : Diskriminasi dalam pemberian pelayanan pada pasien; Pembatasan kuota dan keterlambatan dokter dari jadwal yang sudah ditentukan; Pelayanan administrasi yang tidak professional, tidak maksimal dan bertele-tele; Sistem antrian, ketersediaan tempat tidur untuk rawat inap, dan prosedur yang menyulitkan bagi layanan cuci darah; Fasilitas yang tidak sesuai dengan fasilitas yang tertera pada kartu; Pasien terpaksa harus menambah biaya perawatan atau pasien harus menunggu untuk menjalani rawat inap; Obat-obatan yang disediakan oleh Pihak BPJS-Kesehatan semuanya adalah obat generik; dan lain-lain sebagainya.

Dan bahwa dampak-dampak tersebut, menurut Mahkamah Agung, adalah sebagai akibat dari adanya:

  1. Ketidakseriusan Kementerian-kementerian terkait dalam berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial ini,
  2. Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu,
  3. Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS,
  4. Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi.

Menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019.

Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu. Kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.

Pembiaran terhadap Kesalahan dan kecurangan (fraud) yang terjadi justru pada akhirnya akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara, Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran bersama berupa kehendak politik (political will) dari Presiden beserta jajarannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good will) dari masyarakat dan penyelenggara program jaminan sosial. Yaitu untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan.

Agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dapat terwujud.  Dengan dibatalkannya Pasal 34 Perpres 75/2019, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:

  1. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
  2. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2
  3. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, kenaikan Iuran bagi peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 secara sosiologis adalah bertentangan dengan kehendak masyarakat.

Baca Juga:

Balas

Email Anda tidak akan ditampilkan.