Karya Tulis Oleh : Muhammad Agus Salim
Sekretaris Bidang Hikmah PC. IMM Sibolga Tapanuli Tengah.
Sejalan perkembangan zaman tak ayal seorang kita tidak sering menemui beberapa anak yang sering berkeliaran di jalan bahkan di waktu sekolah sekalipun kita juga sering melihat seorang anak yang dimana anak tersebut masih dalam tanggungan orangtuanya.
Ironis dari apa yang di sampaikan diatas tersebut bahkan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lapangan, mengingat masih adanya kekerasan yang berbentuk eksploitasi di jalanan, dimana seorang anak dipaksa untuk menghidupi dirinya bahkan mungkin keluarganya pun juga di hidupinya.
Dan Akhir-akhir ini, media juga dikejutkan dengan berbagai macam pemberitaan yang berkaitan dengan kekerasan, baik secara fisik dan juga secara seksual (yang umumnya terjadi pada anak-anak).
Kekerasan adalah perilaku manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain (pribadi/kelompok). Penderitaan tersebut dapat berupa penderitaan fisik, seksual atau psikologis terhadap anak, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau pribadi.
Menurut hasil pemantauan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dari tahun 2011 sampai tahun 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti.
Ini hanya sebagian kasus yang tercatat dan terlaporkan dan saya yakin masih sangat banyak kasus yang belum terungkap di balik data ini. Tentunya, hal ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya orang tua/korban malu untuk melaporkan kepada pihak kepolisian karena dianggap sebagai sebuah aib (bukti dibebankan kepada korban/pelapor), selanjutnya korban dipaksa untuk “bungkam” karena pelaku adalah orang terdekat korban (ayah, paman, dan tetangga). Hal ini menjadi sebuah fenomena menyedihkan jika kita telusuri semakin jauh.
Kembali pada kasus yang telah kita bahas di awal tadi. Apa saja sebenarnya faktor yang melatar belakangi terjadinya kekerasan? Tentu sangat banyak.
Kekerasan fisik bisa disebabkan oleh kerentanan/ ketidak berdayaannya anak untuk melawan (HAM dijunjung tinggi, tetapi mengapa kasus penting seperti ini bisa terabaikan?). Selanjutnya pengaruh media, baik sosial dan visual (TV, internet dan games). Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang terbiasa menonton film yang berbau agresif (pemukulan, prilaku membully), maka agresifitasnya akan meningkat.
Sedangkan kekerasan seksual bisa disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenal (keluarga, pacar, dan teman) dan juga orang yang tidak dikenal (kenalan di media sosial, bertemu di jalan dan sebagainya).
Selanjutnya, tentu pengaruh terbesar adalah film dan situs pornografi yang menghantui jutaan warga Indonesia. Saya rasa, peran para pemimpin sangat efektif dalam membuat peraturan dan perundang-undangan baik miras, situs pornografi dan tayangan di televisi. Luar negri bisa. Insya Allah kita lebih bisa).
Salah satu kontribusi terbesar juga adalah hukuman yang ringan atau bahkan terlalu ringan bagi pelaku, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku, selanjutnya serta kronologis kejadian yang terlalu detail dan mudah dicontoh oleh pelaku lainnya. Lantas, solusi apa yang bisa kita gunakan? Tentunya dengan mengurangi bahkan menghilangkan penyebab yang telah saya sebutkan di atas tadi (Mungkin tidak instan, perlahan tapi pasti).
Adapun peran kita sebagai mahasiswa dalam membantu mengurangi kasus kekerasan yang semakin marak terjadi adalah salah satunya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa pentingnya “Pendidikan seks dini” kepada anak (Memberitahu anak apa yang menjadi miliknya, siapa saja yang boleh menyentuhnya, apa yang harus dilakukan jika ada orang asing yang tiba tiba mengajaknya pergi atau memberikan sesuatu dengan maksud yang berbeda dan seterusnya).
Hal ini penting, meski sering dianggap tabu oleh masyarakat. Selanjutnya, merenegosiasi dan berdiskusi kepada pihak pembuat peraturan, bahkan mungkin memberikan saran dan masukan hukuman dan penanganan baik pada korban dan juga pelaku (baik terapi, konseling atau rehabilitasi).
Hal ini penting bagi korban untuk mendapatkan kembali hak-haknya dan menumbuhkan kembali semangat hidup pada dirinya. Dan hal ini juga penting bagi pelaku untuk menyelesaikan konflik psikologisnya dan membentuk prilaku yang lebih baik lagi). Dan yang terakhir membantu menyuarakan “Stop Kekerasan pada Anak”, baik di media manapun yang kita bisa. Semoga dari hal-hal kecil ini berdampak besar bagi perubahan Indonesia.
Kita juga harus dapat mencari solusi dan edukasi baik pada anak dan juga pada masyarakat terkait pentingnya pencegahan dan penanganan yang bisa kita lakukan untuk mengurangi tingkat kekerasan pada anak di Indonesia.